Enter your keyword

post

ALTRUISM (lazuardi 20: Karakter ke-2)

ALTRUISM (lazuardi 20: Karakter ke-2)

Karakter Ke-2 dari 20 Karakter Lazuardi 20 adalah Altruisme.

Altruisme berarti sikap mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi atau golongan. Ini merupakan sikap yang amat mulia dalam pandangan Islam, bahkan dalam pandangan semua agama.

Salah satu sosok yang dapat menjadi teladan berkaitan dengan nilai Altruisme adalah Bung Hatta. Pada tahun 1950-an, “Bally” adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia berminat pada sepatu “Bally” tersebut.

Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman itu. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu “Bally” idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.

Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu “Bally” itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang wakil presiden. Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu “Bally”. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta. Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain.

Bung Hatta memilih jalannya sendiri, yang lebih sulit dan lama dan ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hadiah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berhutang atau bergantung pada orang lain.

Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter m u l i a proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin dan kita semua mampu meneladani beliau, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berhutang dan meminta sedekah dari pihak asing.

Selain itu, mungkin dapat disimak dari penuturan Meutia, putri Bung Hatta mengenai kisah sebuah mesin jahit. Sewaktu ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Menurut beliau, ibunya _Rahmi Hatta_ harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta. Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp.100,- menjadi Rp.1,-. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Ibu Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit. Ketika Bung Hatta pulang dari kantor, Nyonya Rahmi Hatta, istri Bung Hatta, mengeluh; “Aduh, Ayah ?! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan diadakan pemotongan uang? Ya, uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.” Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab dengan tenang; “Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu mengenai sanering itu, nanti pasti hal itu akan kau sampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!”, ujar Bung Hatta kepada istrinya menjelaskan;“Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh bangsa. Kita coba menabung lagi, ya?”

Di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilanda berbagai penyakit sosial, seperti kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan, korupsi, egoisme, konsumerisme dan sederet penyakit sosial lainnya, mungkin prinsip yang dipegang Bung Hatta ini patut menjadi teladan agar dapat mengurangi berbagai penyakit sosial yang ada. Seorang individu, baik sebagai warga biasa ataupun sebagai seorang pejabat negara hendaknya memiliki kearifan dan lebih mendahulukan kepentingan bersama. Kita yakin bahwa kita dapat keluar dari keterpurukan yang kita alami selama ini. Tindakan koruptif dan perilaku negatif lainnya, tumbuh subur karena kita hanya berpikir tentang diri kita sendiri, kita terjebak pada egoisme sempit. Kesadaran inilah yang perlu kita tumbuhkan pada setiap diri kita masing-masing, khususnya sebagai orangtua dan juga pendidik. Kita harus memulai mentransfer nilai-nilai mulia ini kepada anak-anak kita sejak dini.

Dari kisah Bung Hatta kita dapat mengambil pelajaran, sesungguhnya kemuliaan hidup tidak harus dicapai dengan cara memiliki banyak harta kekayaan. Terlebih jika kekayaan tersebut diraih dengan tindakan yang merugikan orang lain. Kemuliaan hidup hanya dapat diraih dengan tidak medahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan orang lain, jujur dan selalu berbagi dengan orang lain. (Maran Sutarya)